Selasa, 02 Maret 2010

pasal 28F

PASAL 28 F




Teknologi informasi kini telah berkembang dengan sangat pesat. Komunikasi dan informasi berlangsung dengan sangat cepat tanpa batas negara. Proses demokratisasi yang tak dapat dibendung ini juga dipicu oleh perkembangan teknologi informasi. Indonesia sejauh ini telah relatif cukup cepat melakukan antisipasi dengan lahirnya undang-undang yang menjamin adanya kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi. Undang-undang yang demokratis tentang kemerdekaan memperoleh informasi itu diharapkan segera lahir di Indonesia, melengkapi undang-undang yang telah ada sebelumnya


Memang benar, bahwa Pasal 27 ayat (3) U U No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan secara lengkap sebagai berikut: “ Setiap o rang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik .” Pasal tersebut memuat unsur “dengan sengaja ” dan “ tanpa hak ”. Unsur tersebut menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana berdasarkan pasal ini.

Beberapa dasar pertimbangan lain dari Mahkamah Konstitusi mengenai konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang perlu diperhatikan adalah:
a. Bahwa penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh tercederai oleh tindakan-tindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
b. Bahwa masyarakat internasional juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang memberikan jaminan dan perlindungan kehormatan atas diri pribadi, seperti dalam Pasal 12 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) , Pasal 17 dan Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) .
c. Berdasarkan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2008 Mahkamah Konstitusi telah berpendirian bahwa nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional setiap orang yang dijamin baik oleh UUD 1945 maupun hukum internasional. Dengan demikian, apabila hukum pidana memberikan sanksi pidana tertentu terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan konstitusi.
d. Bahwa rumusan KUHP dinilai belum cukup karena unsur “di muka umum” sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP kurang memadai sehingga perlu rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya”. Rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah memberikan perlindungan dengan mengatur unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” unsur tanpa hak merupakan perumusan unsur sifat melawan hukum.
e. Bahwa penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.
f. Meskipun setiap orang mempunyai hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, tetapi ketentuan konstitusi (Pasal 28 G UUD 1945 dan Pasal 28 J UUD 1945) menegaskan dan menjamin bahwa dalam menjalankan kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi tidak boleh melanggar hak-hak orang lain untuk mendapatkan perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baiknya.

EFEKTIFITAS SINERGI UU PERS DAN UU KIP TERANCAM OLEH BERBAGAI KETENTUAN
1. Ancaman bersumber dari UU KIP:
Pertama, Pemerintah ngotot mempertahankan ketentuan sanksi yang mengkriminalkan pengguna informasi. Pasal 5 ayat (1) menyebut: “Pengguna informasi publik wajib menggunakan informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Bagi yang menyalah gunakan informasi publik, diancam pidana penjara paling lama satu tahun. (Pasal52) dan/atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah.
Persoalan potensialnya, informasi publik itu justru diperlukan untuk memenuhi akurasi liputan investigasi. Kalau kegiatan seperti itu dapat dinilai melanggar Pasal 5 ayat (1) di atas, tidakkah ketentuan seperti itu berdampak melumpuhkan UU Pers?
Kedua, UU KIP yang akan datang akan mengoperasikan Komisi Informasi. Pemerintah menjadi anggota. Tidakkah ketentuan seperti itu akan mendisain Komisi Informasi yang akan dating seperti Dewan Pers di era Orde Baru, ketuanya orang pemerintah, dan dengan posisi itu dapat mensubordinasi UU KIP itu sendiri?
UU KIP ini adalah UU paradoksal. Brandnya keterbukaan, isinya berkandungan kriminalisasi pengguna informasi. RUU KIP diawali dengan desain untuk memperkuat RUU Pers, tetapi diakhiri dengan desain berpotensi melumpuhkan UU Pers.
2. KUHP dan RUU KUHP mengancam:
Menteri Hukum dan Ham telah mempersiapkan RUU KUHP, yang lebih kejam dari KUHP buatan pemerintah kolonial Belanda (1917). KUHP berisi 37 pasal yang telah mengirim orang-orang pergerakan dan orang-orang pers ke penjara Digul. Selama 63 tahun ini masih digunakan memenjarakan wartawan. Kini, RUU KUHP bukannya disesuaikan dengan konsep good governance justru berisi 61 pasal yang dapat memenjarakan wartawan.
3. UU Penyiaran (No. 32/2002) mengancam:
UU Penyiaran (No. 32/2002) dalam beberapa pasal mengakomodasi politik hukum yang lebih kejam. Isi siaran televisi – termasuk karya jurnalistik – bermuatan fitnah, hasutan, menyesatkan, dan bohong diancam dengan pidana penjara bukan hanya sampai dengan lima tahun, juga dapat ditambah dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.
4. UU ITE mengancam:
Perkembangan teknologi informatika berdampak – demi survival dan kemajuan industri suratkabar harus mengikuti konvergensi media. Produk pers selain disebarkan lewat media cetak juga go on line dan mengembangkan industri dengan memiliki stasiun radio, televisi, dan media internet. Media mainstream seperti Kompas, Media Indonesia, Tempo kini dapat diakses dalam wujud informasi elektronik.
Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE dapat dibaca bahwa pers yang mendistribusikan karya jurnalistik memuat penghinaan dan pencemaran nama baik dalam wujud informasi elektronik dan dokumen elektronik diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda sampai satu miliar rupiah.
Persoalannya, UU Pers dan KUHP mendefinisi penghinaan dan pencemaran nama baik berbeda.

5. UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengancam kemerdekaan pers:

Pasal 97: “Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu”.
Pasal 98 ayat (1): “KPI atau Dewan Pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau media cetak”.
Pasal 99 ayat (1): “Pelanggar Pasal 97 diancam pembredelan”.
UU Penyiaran (No.32/2002) Pasal 55 mengatur sanksi terhadap lembaga penyiaran mulai dari teguran tertulis, penghentian acara sementara, denda sampai pencabutan izin.
UU Pers selain menyiadakan pembredelan, berdasar Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (2) justru “ terhadap setiap orang yang menyensor, membredel, dan yang melarang penyiaran – diancam pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta,-.
Demikianlah paradoks Indonesia, UU Pers bukan hanya meniadakan pembredelan, juga mengancam penjara siapa saja yang menyensor, yang membredel penerbitan pers. Tetapi UU Pemilu justru memberi otoritas kepada Dewan Pers membredel media cetak.

Dengan demikian, tidak perlu dan tidak ada alasan sedikitpun bagi masyarakat untuk merasa cemas, trauma dan takut menggunakan layanan telekomunikasi dan dalam berkomunikasi secara elektronik bagi kepentingan aktivitas masing-masing masyarakat. Himbauan Departemen Kominfo ini perlu disampaikan agar supaya tidak ada keragu-raguan masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka seperti yang sering disampaikan dalam rubrik keluhan pembaca atau “Redaksi Yth ” di berbagai media massa, mengingat kecenderungan saat ini surat keluhan lebih banyak dikirimkan melalui sarana email dibandingkan dikirimkan melalui layanan pos atau jasa kurir swasta lainnya. Himbauan ini perlu disampaikan secara terbuka untuk mengurangi kecemasan masyarakat, karena aturan hukum yang mengatur kebebasan individu atau sekelompok orang atau institusi untuk memperoleh privasi dalam berkomunikasi secara elektronik sangat kuat dan ketat rambu-rambunya. Bahwasanya kemudian timbul masalkah hukum akibat isi dari komunikasi elektronik tersebut yang kemudian dibuka untuk konsumsi umum dan menimbulkan respon resistensi atau kebewratan dari pihak lain, maka hal tersebut adalah persoalan lain yang tidak langsung disebabkan oleh UU ITE tersebut

PASAL 28 E

Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran

Kebebasan beragama dalam kacamata Hak Asasi Manusia (HAM)

mempunyai posisi yang kompleks. Ia sering dipandang sebagai fasilitator bagi

kepentingan proteksi manusia sebagai Homo Sapiens. Ia memungkinkan manusia

mengembangkan kepribadian intelektual dan moralnya sendiri, menentukan sikap

terhadap kekuatan-kekuatan alam dan supranatural, dan membentuk hubungannya

dengan sesama makhluk.

Dalam konfigurasi ketatanegaraan, kebebasan beragama mempunyai posisi

yang penting juga. Sejumlah besar kegiatan manusia dilindungi oleh pasal-pasal

mengenai kebebasan beragama, kebebasan bereskpresi, dan kebebasan politik.

Norma-norma itu berkisar dari doa yang diucapkan dalam kesendirian hingga

partisipasi aktif dalam kehidupan politik suatu negara. Menurut Ifdhal Kasim

kebebasan beragama muncul sebagai HAM yang paling mendasar dalam instrumeninstrumen

politik nasional dan internasional, jauh sebelum berkembangnya

pemikiran mengenai perlindungan sistematis untuk hak-hak sipil dan politik.

Namun demikian, kebebasan beragama menemukan jantung “persoalan”

yang utama ketika berhadapan dengan entitas negara. Di sini muncul perdebatan gugus negara apa yang harus dibentuk supaya kebebasan beragama tidak teraniaya?

Sejauh mana legitimasi moral dan hukum bahwa negara boleh “mengelola” (baca: mengatur, membatasi, dan melarang) tindakan-tindakan yang bertolak tarik dengan kebebasan beragama?

Bagaimana juga kerangka yang bernurani untuk membaca kebebasan beragama berhadapan dengan kekuasaan dan kepentingan umum dalam

tarikan nafas HAM?

Walaupun sederhana, sembulan-sembulan persoalan tadi barangkali ada

kesesuaiannya dengan apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Sejumlah persoalan

yang menyangkut kebebasan beragama bermunculan mulai dari kekerasan berbasis agama, pelarangan ajaran-ajaran tertentu, sampai kepada kriminalisasi terhadap mereka yang dianggap sesat dalam aktivitas keagamaannya.5 Isu pokok yang

menjadi uraian dalam tulisan ini adalah makna kebebasan beragama, ditinjau dari hukum dan HAM, serta analisis yang menunjukkan adanya persoalan kebebasan

beragama ketika harus berhadapan dengan otoritas negara.

Dalam aras konstitusi, dapat ditunjuk sejumlah pasal yang bukan

saja menunjukkan pentingnya agama (dan aspek-aspek yang terkait dengannya),

akan tetapi juga betapa agama dan kehidupan beragama merupakan HAM, seperti:

1. Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal

28A),

2. Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat (Pasal 28E);

3. Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,

sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E ayat (2));

4. Hak atas pelrindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan

harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan

perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G); dan

5. Hak atas bebas dari penyiksaan (Pasal 28G ayat (3)).

Puncak pengakuan atas hak asasi manusia dalam konstitusi ditutup dengan

pigura yang ‘berwibawa’ dan ‘tegas’ dengan termuatnya Pasal 28 J, yang

menyatakan: “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain

dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam

menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata

untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan

orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat demokratis.” Kebebasan beragama sebagai salah satu fondasi

bernegara juga diakui oleh UUD 1945, yaitu Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). (“Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.”) Legalisasi dalam konstitusi itu kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa agama menduduki porsi yang penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

Ketika Negara Melindungi Agama

Betapapun dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya

menunjukkan pengakuan dan penghormatan terhadap agama dan kebebasan

beragama sebagai bagian HAM, akan tetapi dalam aras undang-undang,

perlindungan dan pengakuan pada agama sering menimbulkan potensi konflik.

Berkaitan dengan hal itu, ada sejumlah hal yang dapat dijadikan kajian dalam rubric ini.

Pertama, perlindungan kepentingan agama dalam perundang-undangan.

Ketentuan UU No.1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Norma ini menyebabkan tidak diperbolehkannya perkawinan menurut agama dan kepercayaan yang belum diakui, dan menutup pintu untuk adanya perkawinan beda agama. Kalau dilihat dari teropong HAM Barat,

Pasal ini juga berpotensi melanggar hak asasi untuk memilih pasangan hidup. Lalu UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (1).

Masingmasing pasal ini intinya adalah bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama, serta kewajiban satuan pendidikan untuk memuat kurikulum mengenai pendidikan agama. Ketentuan ini secara sosial berpotensi meimbulkan kecuriagaan antarkelompok masyarakat, tuduhan pemurtadan terhadap lembaga

pendidikan yang berafiliasi kepada agama tertentu, dan pelanggaran hak anak untuk memperoleh pendidikan. Sejumlah ketentuan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 1, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 37, Pasal 39, Pasal 42, dan Pasal 86, yang pada pokoknya mengatur mengenai pengasuhan anak di mana pengasuh dan anak asuh harus seagama, merupakan contoh lain dari hokum yang bisa digunakan untuk kepentingan perlindungan agama.

Di samping itu,pemerintah juga ikut masuk mengawal kepentingan kerukunan umat beragama.

Hal ini bisa disimak dengan Keberadaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri (No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006) Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Beribadat.

Kedua, negara sebagai “polisi” agama. Umum diyakini betapapun hukum

melindungi kepentingan agama dan kebebasan beragama tapi pigura Pasal 28 J (2) tetap wajib diterapkan. Dalam sistem hukum Indonesia, khususnya dalam lapangan

hukum pidana, ada ketentuan yang berhubungan dengan perlindungan agama.

Secara teoritis sebetulnya tindak pidana terhadap kepentingan agama dapat

dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Tindak pidana yang ditujukan terhadap agama, yaitu yang benar-benar

membahayakan agama dan yang diserang secara langsung. Di sini perbuatan

maupun pernyataannya sengaja ditujukan langsung kepada agama. Orang

sering menyebut kategori perbuatan ini sebagai delik agama dalam arti

sempit.

2. Tindak pidana yang bersangkutan/berhubungan dengan agama, yaitu tidak

ditujukan secara langsung dan membahayakan agama itu sendiri. Orang

menyebut tindakan ini sebagai delik agama dalam arti luas. Jika kita menengok dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, ternyatalah bahwa tindak pidana golongan pertama ada dalam Pasal 156, Pasal 156a, dan Pasal 157. Untuk lebih jelas, maka di bawah ini dikutipkan bunyi

pasal-pasal tersebut.

Kebebasan beragama sebagai HAM secara teoritis tidak dapat dipisahkan dari kebebasan berpendapat. Sementara kebebasan berpendapat sangat erat dan mustahil dilepaskan begitu saja dengan kebebasan berpikir dan kebebasan berkeyakinan.

Nah, jalinan semacam inilah yang seringkali menimbulkan batas tipis yang rumit

kalau bercakap-cakap soal kebebasan beragama. Pada aras bernegara, penerimaan gugus negara yang prismatik tentu lebih masuk akal karena dalam hal ini kebebasan

beragama sesungguhnya secara prinsip akan dapat diakui dan lebih terjamin secara hukum.

Perasaan lega juga dirasakan ketika melihat sejumlah norma dalam UUD

1945, khususnya Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang bisa menjadi ‘jaring pengaman’ sekaligus benteng hukum yang kokoh bagi pihak-pihak yang menjalankan hak dan melakukan kebebasan berekspresi menabrak batas yang disepakati.

Persoalan yang lebih krusial sebetulnya bukan sekedar sah atau tidaknya,

negara, terutama di Indonesia, melakukan perlindungan terhadap kepentingan

beragama. Hal ini sudah selesai di tingkat praksis sosial dan konstitusi. Tetapi

persoalan yang lebih urgen adalah sejauh mana porsi peran negara dalam

perlindungan hukum untuk kepentingan agama itu diwujudkan?

Penggunaan delik pidana seperti aturan KUHP tentu saja diperlukan.

Kebijakan dalam KUHP sekarang ini masih mencerminkan semangat kolonial

sehingga perlindungan kepentingan agama menjadi belum sempurna. Ke depan

tentu saja diharapkan pengaturan dalam KUHP Baru yang lebih komplet di mana

diharapkan adanya bab tersendiri yang menyangkut tindak pidana terhadap agama dan kehidupan agama.